..

.



Senin, 17 Mei 2010

Franz Beckenbauer: Kaisar Sepakbola Modern

Franz Beckenbauer, tidak diragukan lagi merupakan salah satu pemain dan manajer sepakbola terhebat di muka bumi ini. Dia menjadi orang pertama sejagat yang mampu merebut Piala Dunia baik sebagai pemain maupun sebagai manajer (pelatih).

Perannya sebagai seorang libero yang mampu tampil sebagai penyerang membuat Jerman Barat (saat itu) yang dikapteninya merebut gelar juara dunia pada ajang Piala Dunia 1974 dengan mengalahkan tim favorit, Belanda yang terkenal dengan total football-nya.

Prestasi juara dunia itu diulangi Der Kaiser, julukan yang diberikan publik Jerman, saat dirinya menukangi Lothar Matthaeus dkk di Piala Dunia 1990 yang berlangsung di Italia, dengan mengalahkan Argentina yang diperkuat oleh superstar saat itu, Diego Armando Maradona.
Otak Kesuksesan Jerman
Pemain kelahiran Munich, 11 September 1945 ini memulai karirnya sebagai pesepakbola tatkala Beckenbauer berumur 9 tahun dan bergabung dengan tim junior SC Muenchen 06, sebelum akhirnya bergabung dengan FC Bayern Muenchen pada tahun 1958. Perlu enam tahun bagi Beckenbauer untuk memulai debutnya bersama Muenchen. Saat itu ia tampil sebagai sayap kiri menghadapi FC St. Pauli, 6 Juni 1964.

Tepat ketika berusia 20 tahun Beckenbauer memulai debutnya bersama timnas Jerman Barat pada 26 September 1965 dan bermain dalam tiga pertandingan Piala Dunia 1966. Debutnya yang pertama di ajang Piala Dunia ditandai dengan kesuksesannya mencetak dua gol dari lima gol kemenangan Jerman atas Swiss. Meski akhirnya Jerman Barat harus mengakui keunggulan tuan rumah Inggris di babak final, Beckenbauer tidak merasa kecewa. ”Menjadi runner-up Piala Dunia tidaklah terlalu jelek bagi seorang pemain muda,” katanya kepada FIFAworldcup.com.

Penampilan Beckenbauer semakin fenomenal di ajang Piala Dunia berikutnya yang berlangsung di Meksiko. Ketika itu, dengan bahu yang dibalut, Beckenbauer tetap tampil membela Jerman Barat yang akhirnya gagal di babak semifinal, dikalahkan Italia 3-4. Beckenbauer pun mempunyai kenangan tersendiri tentang ajang Piala Dunia 1970 tersebut. ”Turnamen yang sangat hebat. Para pendukung yang datang ke stadion sangat fanatik, tapi tingkat keamanannya tidaklah seketat zaman sekarang. Hanya ada seorang polisi,” katanya.

Mengalahkan Salah Satu Tim Terbaik Sepanjang Masa
Tahun 1974 adalah puncak kesuksesan seorang Franz Beckenbauer. Tampil dengan memperkenalkan posisi baru yang dianggap revolusioner saat itu, seorang libero yang berdiri di belakang barisan pertahanan, organisator tim saat sedang diserang dan juga turut naik ke depan ketika tim melakukan penyerangan. Itulah ciri khas dan karakter alami seorang Beckenbauer.

Ajang Piala Dunia 1974 merupakan turnamen ekstraspesial bagi Beckenbauer dan rekan setimnya. Pasalnya, dari sejak awal turnamen, publik Jerman Barat hanya menginginkan satu hasil: kemenangan. ”Menjadi tuan rumah berarti siap menyandang beban dua kali lipat,” kata Der Kaisar.

Kemenangan 2-1 atas Belanda di babak final membuat Jerman Barat berhasil menjuarai Piala Dunia untuk kedua kalinya. Beckenbauer pun menjadi orang pertama yang mengangkat tropi FIFA untuk pertama kalinya setelah piala sebelumnya, Jules Rimet, menjadi milik Brasil yang telah tiga kali menjadi juara dunia, 1958, 1962 dan 1970.

Setelah mengantarkan Bayern Muenchen meraih juara Champions tiga kali berturut-turut, 1974, 1975 dan 1976, Beckenbauer hijrah ke AS dan bergabung dengan New York Cosmos. Saat itu, Beckenbauer berharap, selain mendapat penghasilan yang cukup, juga akan mendapat tantangan baru selama berkiprah di liga profesional AS. Tapi, ternyata, keputusannya itu keliru. Permainannya kian tak berkembang dan Beckenbauer pun tidak dilirik lagi oleh tim nasional Jerman Barat. Tapi, rekornya 103 kali tampil memperkuat timnas merupakan rekor baru bagi seorang pemain Jerman yang dapat menerobos angka ‘magis’, 100.

Sukses Sebagai Manajer
Kepindahan Beckenbauer ke luar negeri dan melintas benua itu mengakhiri karir internasionalnya. Pada tahun 1982, dia pulang kampung dan bermain selama satu musim bersama Hamburg ketika berusia 35 tahun. Akhirnya, setahun kemudian Kaisar memutuskan untuk pensiun dari lapangan hijau.

Tak lama dunia sepakbola ditinggalkan Beckenbauer. Setahun berikutnya, menyusul kegagalan Jupp Derwall mengarsiteki Jerman Barat dalam Piala Eropa 1984, Beckenbauer mendapat job sebagai manajer tim nasional.

Dua tahun kemudian Beckenbauer mampu mengembalikan nama Jerman Barat di kancah sepakbola dunia. Babak final Piala Dunia 1986 di Meksiko antara Jerman Barat melawan Argentina saat itu merupakan salah satu babak final yang terbaik sepanjang era sepakbola modern. Bertanding di bawah terik matahari yang amat sangat, Karl-Heinz Rumennigge dkk mampu mengimbangi kepiawaian Diego Maradona cs. Hanya kelengahan enam menit menjelang bubaran yang membuat Jerman Barat dan Beckenbauer akhirnya harus takluk di tangan Argentina.

Empat tahun kemudian di Piala Dunia 1990 yang berlangsung di Italia, Beckenbauer dan pasukannya tidak mengulangi kesalahan. Tercatat beberapa momen penting yang merupakan cikal bakal suksesnya Matthaeus dkk. Momen pertama, saat mereka berhadapan dengan musuh bebuyutan Belanda di babak 16 besar. Jerman yang dua tahun sebelumnya di kandang sendiri ditaklukkan Marco van Basten dkk di semifinal Piala Eropa 1988, mampu membalas kekalahan. Gol kedua Jerman Barat yang dicetak Andreas Brehme ke gawang Hans van Breukelen merupakan salah satu gol terindah sepanjang turnamen. Partai itu pun dikenang sebagai partai penuh intrik ’penuh ludah’ dengan dikeluarkannya dua orang pemain, masing-masing Rudi Voeller dan Frank Rijkaard.

Momen penting lainnya saat babak semifinal, Jerman Barat berhadapan dengan salah satu tim favorit juara, Paul Gascoigne dkk dari Inggris. Inilah partai terbaik sepanjang turnamen. Setelah menghabiskan 120 menit pertandingan, Matthaeus dkk akhirnya lolos dari lubang jarum, unggul lewat tendangan adu penalti.

Final antara Jerman Barat melawan Argentina merupakan final terburuk sepanjang masa. Permainan berjalan tidak seimbang, karena Argentina tidak diperkuat salah satu pemain andalannya, Claudio Caniggia. Gol yang tercipta hanya satu, itu pun lewat tendangan penalti yang kontroversial. Meski demikian, PD 1990 merupakan puncak keberhasilan Beckenbauer: setelah mampu tampil sebagai pemain juga mampu merebut gelar Piala Dunia sebagai manajer.

Setelah lengser dari timnas, Beckenbauer menjadi presiden klub Bayer Muenchen sampai 1998, ketika dia dipilih sebagai Wakil Presiden Federasi Sepakbola Jerman. Kini, Beckenbauer memangku tugas yang sangat berat di turnamen Piala Dunia 2006, yaitu sebagai Ketua Komite Organisasi.


Karir Pemain
Internasional:
103 caps (50 kali sebagai kapten tim), 14 gol
Runner-up PD 1966
Juara ketiga PD 1970
Juara PD 1974
Juara European Championship 1972

Klub:
1954 - 1958 SC Muenchen 06
1958 - 1977 FC Bayern Munich
1977 - 1980, 1983 New York Cosmos
1980 - 1982 Hamburg SV

Prestasi Klub:
1969, 1972, 1973, 1974, 1982, Juara Liga Jerman
1966, 1967, 1969, 1971, Juara Piala Jerman
1974, 1975, 1976, Juara Champion Eropa
1967, Juara European Cup Winners Cup
1977, 1978, 1980, Juara NASL (AS)
424 partai di Bundesliga, 44 gol
78 partai Eropa, 6 gol

Karir Manajer
Klub:
1990-1991, Olympique Marseille
1994, 1996, Bayern Munchen

Tim Nasional
1984-1990, Timnas Jerman Barat

Prestasi:
Runner-up PD 1986 di Meksiko
Juara Dunia PD 1990 di Italia
Juara Bundesliga, 1994
Juara UEFA Cup, 1996










Diego Maradona

[IMG]http://i29.*******.com/2pshxtu.jpg[/IMG]

Diego Armando Maradona (lahir 30 Oktober 1960 di Buenos Aires) adalah seorang pesepakbola legendaris Argentina. Menurut masyarakat Argentina, Maradona adalah pemain terbaik di dunia, sedangkan Pele adalah pemain nomor 2 terbaik di dunia.

Karir
Debutnya dimulai pada tahun 1976 bersama klub Argentinos Juniors. Setahun kemudian, ia melakukan debut internasional bersama timnas Argentina. Pada tahun 1981, ia dibeli klub Boca Juniors seharga 1 juta poundsterling. Kemudian pada tahun 1982, ia dijual ke FC Barcelona dengan harga 3 juta pounsterling, yang merupakan rekor dunia. Namun baru beberapa lama bergabung, ia sudah harus istirahat sekitar setahun akibat tekel keras terhadapnya.

Napoli
Maradona lalu ditransfer ke SSC Napoli pada tahun 1984 dan membawa tim tersebut menjadi juara Seri A untuk pertama kalinya dalam sejarah Napoli (1986/87 dan kemudian 1989/1990). Selain itu, ia juga membantu Napoli menjuarai Piala Italia pada tahun 1987. Setahun kemudian (musim 88/89), Napoli mengalahkan Stuttgart untuk menjadi juara Piala UEFA

Piala Dunia 1986
Pertunjukkan kehebatan Maradona adalah pada saat berlangsungnya Piala Dunia 1986 di Meksiko, di mana Argentina keluar sebagai Juara Dunia untuk kedua kalinya, setelah yang pertama pada tahun 1978 di Argentina. Pada Piala Dunia di Meksiko tersebut, Maradona membuat gol terbaik sepanjang masa yaitu ketika Argentina bertemu Inggris di babak perempat final. Pada saat itu Maradona menggiring bola dari tengah lapangan, kemudian melewati 5 orang pemain Inggris dan menaklukkan kiper kenamaan Inggris, Peter Shilton. Sayangnya, pada partai tersebut pula, Maradona membuat gol yang sangat buruk pula. Gol tersebut tercipta melalui bantuan tangan, yang dikatakan Maradona sebagai hasil bantuan "tangan Tuhan". Ia akhirnya mengakui bahwa hal tersebut dilakukan dengan sengaja pada 22 Agustus 2005.

Pada Piala Dunia berikutnya tahun 1990 di Italia, Maradona berhasil membawa Argentina menjadi finalis setelah mengalahkan tuan rumah Italia di babak semi final. Sayangnya pada partai puncak, Argentina dikalahkan oleh Jerman Barat dengan skor 1-0.

Penurunan karir dan pascakarir

Karirnya kemudian menanjak turun setelah itu. Ia terbukti melakukan doping pada tahun 1991 dan dilarang bermain selama 15 bulan. Setelah bebas, ia melakukan comeback bersama Sevilla namun dipecat setahun kemudian. Ia lalu kembali ke Argentina dan bermain bersama Newell's Old Boys selama 5 pertandingan sebelum lagi-lagi dilarang bermain selama 15 bulan karena kembali diketahui doping saat Piala Dunia 1994 berlangsung.

Setelah sempat menjadi pelatih bagi Deportivo Mandiyú (1994) dan Racing Club (1995) dan mencoba melanjutkan karir bermain bersama Boca antara tahun 1995 dan 1997, ia akhirnya pensiun pada 30 Oktober 1997.

Pada tahun 2004, Maradona hampir meninggal dunia akibat serangan jantung karena overdosis kokain. Setelah keluar dari rumah sakit, ia melakukan operasi perut pada Maret 2005 untuk mengurangi beratnya. Pada Agustus 2005, ia memulai karir baru sebagai pemandu acara talk show.

Penghargaan
Pada tahun 2001, ia dipilih FIFA sebagai "Pemain Terbaik Abad Ini" bersama dengan Pele.

Golnya pada Piala Dunia 1986, di mana ia melewati lima bek Inggris dan kiper Peter Shilton untuk mencetak gol tersebut, terpilih sebagai "Gol Abad Ini" dalam voting yang dilakukan Fédération Internationale de Football Association pada tahun 2002.

Apa yang paling diingat orang pada Piala Dunia 1986? Tentu saja Gol Tangan Tuhan serta gol terbaik abad 21. Berawal dari perebutan bola di Lapangan tengah, Maradona menaklukkan Peter Shilton dengan terlebih dahulu melewati 6 pemain Inggris! Seakan menjawab keraguan gol tangan Tuhan yang sebelumnya dia ciptakan.

Piala Dunia 1986 memang merupakan Piala Dunia terbaik bagi Maradona. Selain dua gol kontroversial tersebut, Maradona berhasil membawa Trofi Piala Dunia pulang ke negerinya, Argentina. Namun tidak berhenti disitu saja kehebatan mahabintang kelahiran Villa Fiorito pinggiran Kota Buenos Aires itu.

Terlahir di daerah hitam di pinggiran Buenos Aires, Maradona mengawali karir sebagai pemain profesional di klub Argentinos Junior pada usia 15 tahun. Tidak berselang lama, Maradona pindah ke Boca Juniors dan mengantar Tim Nasional Argentina Junior menjadi Kampiun di Piala Dunia Junior tahun 1979. Tahun 1981, Maradona sudah berhasil mempersembahkan gelar Campeonato Metropolitano bagi Boca Juniors.

Kebintangannya makin bertambah saat dia memutuskan pindah ke Klub Catalan, Barcelona. Dengan kontrak sebesar 5.000.000 Euro Maradona menjadi pemain paling mahal di Barcelona. Di musim pertamanya, Il Pibe Del Oro berhasil mempersembahkan gelar juara Liga, Piala Raja, serta Piala Super bagi Barcelona. Di Spanyol pula Maradona memulai kiprahnya di Piala Dunia 1982.

Kejayaan Napoli
Hanya dua tahun Diego bertahan di Spanyol. Dengan transfer sebesar 6,9 juta Euro, dia pun hijrah ke negeri Pizza. Bersama Napoli, Maradona menikmati kesuksesan yang luar biasa. Napoli dibawa menjadi salah satu klub yang disegani di eropa. Ini terbukti dengan torehan 2 kali gelar scudetto liga Serie-A, 1 gelar Juara Coppa Italy, 1 Gelar Piala UEFA, dan 1 gelar SuperCoppa Italy. Maradona menjadi simbol bagi kota tersebut.

Gelar Piala Dunia kedua bagi Argentina pun dia persembahkan. Dengan aksi brilian, Maradona menghempaskan Jerman Barat 3-2 untuk menjuarai turnamen 4 tahunan tersebut. Piala Dunia 1986 pun disebut-sebut sebagai Piala Dunia yang identik dengan Maradona. Tahun itu pulalah Maradona dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Dunia versi FIFA.

Karir Tim Nasional di mulai dari perhelatan Piala Dunia Junior tahun 1977 dengan mencetak 11 gol dari 23 kali bermain. Di Tim senior, pemain kelahiran 30 Oktober 1960 ini dimulai pada usia 17 tahun. Namun, Cesar Luis Menotti, pelatih Tim Nasional Argentina waktu itu tidak mau membawa Maradona ke Piala Dunia 1978 dengan alasan masih terlalu muda.

Sayang akhir karir Maradona tidak dilalui dengan mulus. Setelah hanya menduduki runner up di Piala Dunia 1990, Maradona masih tercatat untuk skuad Tim Argentina untuk Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Namun, kecanduan akan kokain telah membawanya ke lembah terhitam dalam karir pemilik nomer punggung 10 ini.

Maradona terbukti menggunakan obat terlarang di Piala Dunia 1994 dan harus keluar dari turnamen. Argentina pun tersisih. Sejak saat itu, Maradona selalu hidup dalam bayang-bayang obat bius. Meski sempat come back bersama Boca Juniors, namun Maradona tidak lagi se perkasa waktu muda. Cerita sedih pun mengikuti akhir karir Sang Golden Boy.

Setelah lama di pusat rehabilitasi di Kuba, kini Maradona kembali meniti karir di dunia yang membesarkannya. Selain menjadi komentator, El Diego kini mulai belajar menjadi pelatih. Sejak beberapa tahun terakhir Maradona diangkat menjadi salah satu asisten pelatih di tim yang membesarkannya, Boca Junior.

Data dan Fakta

Nama lengkap : Diego Armando Maradona
Lahir : 30 October 1960 di Villa Fiorito, Buenos Aires
Tinggi : 168 cm
Kaki dominan : Kiri
Julukan : The King, Pibe de Oro, Golden Boy

Penghargaan sepanjang Karir
* 1978: Top Scorer-Campeonato Metropolitano.
* 1979: Top Scorer-Campeonato Metropolitano.
* 1979: Top Scorer-Campeonato Nacional.
* 1979: Juara Piala Dunia Junior
* 1979: "Olimpia de Oro"-Pemain Argentina Terbaik.
* 1979: Pemain Terbaik Amerika Selatan versi FIFA.
* 1979: Penerima Bola Emas sebagai Pemain Terbaik saat itu.
* 1980: Top Scorer-Campeonato Metropolitano.
* 1980: Top Scorer- Campeonato Nacional.
* 1980: Pemain Terbaik Amerika Selatan versi FIFA..
* 1981: Top Scorer-Campeonato Nacional.
* 1981: Penerima “Trofeo Gandulla” sebagai pemain terbaik.
* 1981: Juara Liga Argentina bersama Boca Juniors.
* 1983: Juara Copa del Rey bersama Barcelona.
* 1985: Duta besar UNICEF.
* 1986: Juara Piala Dunia bersama Argentina.
* 1986: "Olimpia de Oro"-Pemain Argentina Terbaik.
* 1986: "Warga Kehormatan" dari Pemerintah Kota Buenos Aires.
* 1986: Penerima sepatu Emas dari Adidas sebagai pemain terbaik.
* 1986: Penerima the Golden Pen sebagai pemain terbaik di Eropa.
* 1987: Juara Liga Italia Serie A bersama Napoli.
* 1987: Juara Coppa Italy bersama Napoli.
* 1988: Top Scorer Serie A bersama Napoli.
* 1989: Juara Piala UEFA bersama Napoli.
* 1990: Juara Liga Italia Serie A bersama Napoli.
* 1990: Penerima “Premio Konex di Brillante” untuk skill olahraga.
* 1990: Runner up Piala Dunia.
* 1990: diangkat menjadi "Duta Besar Olahraga" oleh Presiden Argentina.
* 1990: Juara Supercoppa Italiana bersama Napoli.
* 1993: Dianugerahi sebagai “Pemain Terbaik Argentina sepanjang Masa”.
* 1993: Juara Artemio Franchi Cup bersama Argentina.
* 1995: Penerima Golden Ball untuk karirnya.
* 1995: Dianugerahi gela "Master Inspirer of Dreams" oleh University of Oxford.
* 1999: "Olimpia de Platino" sebagai pemain terbaik se-Abad.
* 1999: peneriman penghargaan dari AFA sebagai Atlet terbaik Argentina sepanjang masa .
* 1999: Golnya tahun 1986 saat melawan Inggris dipilih sebagai gol terbaik sepanjang sejarah sepakbola.
* 2000: Terpilih " FIFA best football player of the century"

The numbers of the number 10
- Argentinos Juniors (76/80). 166 pertandingan (116 gol).
- Boca Juniors (81, 95/97). 71 pertandingan (35 gol).
- Barcelona (82/83). 58 pertandingan (38 gol).
- Napoli (84/91). 259 pertandingan (115 gol).
- Sevilla (92/93). 29 pertandingan (7 gol).
- Newell's Old Boys (93). 5 pertandingan.


Tim Nasional Argentina
- Tim Nasiona Junior (77/79). 23 pertandingan (11 gol).
- Argentina (77/94). 91 pertandingan (34 gol).

Jumlah Juara: 10.

- Juara Dunia Junior 1979 (Argentina)
- Campeonato Metropolitano 1981 (Boca Juniors)
- Copa del Rey 1983 (Barcelona)
- Piala Dunia 1986 (Argentina)
- Serie A Italia 1986/87 (Napoli)
- Coppa Cup 1987 (Napoli)
- UEFA Cup 1989 (Napoli)
- Serie A Italia 1989/90 (Napoli)
- Italian Supercup 1990 (Napoli)
- Copa Artemio Franchi 1993 (Argentina)

Sebagai Pelatih (dengan Carlos Fren):

- Mandiyú of Corrientes (1994). 12 pertandingan (1 menang, 6 imbang, 5 kalah)
- Racing Club (1995). 11 pertandingan (2 menang, 6 imbang, 3 kalah)















Sir Alf Ramsey, Akrabi Kegagalan dan Kontroversi

Ambisi itu dimulai pada 1963. Sesaat setelah ditunjuk menjadi arsitek Timnas Inggris di tahun itu, Alfred Ernest Ramsey, atau yang lebih dikenal sebagai Alf Ramsey, langsung berkoar: "Kami akan memenangkan Piala Dunia."

Datang dari pelatih yang mampu menyulap Ipswich Town dari sebuah tim Divisi III menjadi kampiun Divisi I (kini Premiership) dalam waktu tujuh tahun, sesumbar itu langsung saja diamini segenap publik Inggris. Mereka yakin, gelar internasional pertama bagi Three Lions tinggal menunggu waktu saja.

Tapi waktu yang ditunggu itu ternyata tidak datang dalam sekejap. Di awal kepemimpinan Ramsey, Three Lions bahkan terengah-engah. Antara lain ditaklukkan Prancis 2-5 di kualifikasi Piala Eropa. Tercatat, di tujuh laga awal Inggris di bawah Ramsey, tak satu kemenangan pun diraih.

Kasak-kusuk ketidakpercayaan terhadap kapabilitas Ramsey mulai terdengar disana-sini. Tapi FA alias asosiasi sepak bola Inggris tetap mendukung penuh Ramsey. Ini yang membuat pelatih keras kepala itu berani melakukan sejumlah perubahan.

Yang paling revolusioner, merubah pola paten Inggris 4-3-3 menjadi 4-4-2. Tapi lagi-lagi perubahan ini gagal menghembuskan angina segar. Saat mengikuti turnamen Copa de las Naciones di Rio De Janeiro Mei 1964, Inggris menelan kekalahan telak 1-5 dari Brazil.

Kekalahan itu langsung membuat keharmonisan di dalam tim terganggu. Ramsey sempat bersitegang dengan skipper Bobby Moore. Buntutnya, Ramsey mencabut ban kapten dari lengan Moore.

Ketegangan itu akhirnya mereda jelang putaran final Piala Dunia 1966. Moore kembali dipercaya sebagai kapten. Ramsey juga tak mengubah formasi 4-4-2 yang gagal total di Copa de las Naciones. Ramsey percaya pola baru itu bakal membuahkan hasil di Piala Dunia 1966 yang dituanrumahi sendiri oleh Inggris.

Yang dirubahnya hanya kekuatan tim. Kiper Leicester City Gordon Banks dipercaya menggantikan Bert Williams. Ramsey juga memindahkan winger kiri Bobby Charlton ke tengah lapangan. Dia juga berhasil menemukan tukang gedor baru, Geoff Hurst. "Mereka bakal menjadi pemain penting di Piala Dunia (1966). Dengan pola baru yang semakin matang, Inggris akan memenangkan Piala Dunia," ujar Ramsey kepada Sunday Telegraph setahun sebelum putaran final Piala Dunia 1966 digelar.

Namun lagi-lagi, sesumbar Ramsey tak langsung terwujud di lapangan. Di laga pertama melawan Uruguay, Three Lions ditahan imbang Uruguay. Baru setelah menundukkan Meksiko 2-0 di laga kedua, konfidensi Bobby Moore dkk mulai membumbung.

Melaju ke perempat final, pasukan Ramsey harus berhadapan dengan Argentina yang tampil amat brutal. Saking brutalnya, kendati tim asuhannya menang 1-0, Ramsey melarang para pemainnya bertukar kaos dengan para pemain Argentina seusai pertandingan.

"Saya tak ingin pemain saya bertukar kostum dengan para binatang itu," kecam Ramsey. Binatang adalah istilah yang dilontarkan Ramsey untuk menyebut pemain-pemain Amerika Selatan yang kerap bermain kasar.

Inggris akhirnya lolos ke final setelah menaklukkan Portugal dengan Eusebio-nya di babak semifinal. Di partai puncak, Inggris berhasil memukul Jerman Barat 4-2. Partai ini diwarnai gol Geoff Hurst yang sangat kontroversial.

Namun kontroversi itu tak sampai melunturkan keharuman nama Ramsey. Dunia terus mengenangnya sebagai pelatih yang kaya ide, bersemangat, jeli melihat potensi pemain, dan tak pernah takut melakukan perubahan.

Sir Alf Ramsey

Nama: Alfred Ernest Ramsey.
Lahir :22 January 1920 di Dagenham, Essex.
Meninggal: 28 April 1999 di Ipswich.





Cesar Luis Menotti Nasionalisme dan Intuisi


Jadi pionir Piala Dunia, Argentina harus menunggu 48 tahun untuk bisa mengangkat trofi tertinggi di jagat sepak bola itu. Dan Cesar Luis Menotti-lah adalah sosok yang berdiri di belakang kesuksesan itu. El Flaco alias si Kurus, itulah julukan pria tanpa ekspresi dan selalu mengisap rokok itu. Dengan kejeniusanya, Cesar Luis Menotti, nama pria itu, seperti sedikit menjadi tameng atas berbagai kontroversi yang mengiringi keberhasilan Argentina menjuarai Piala Dunia 1978.

Sejak awal penunjukkan Argentina sebagai tuan rumah saja, kontroversi sudah langsung mengapung. Sejumlah negara Eropa memprotes pelanggaran HAM yang dilakukan junta militer yang berkuasa di Argentina kala itu. Kudeta yang dilakukan Jenderal Jorge Videla terhadap pemerintahan Isabella Peron, telah mengakibatkan 5 ribu jiwa melayang.

Di atas lapangan, tuan rumah juga dituding menghalalkan segala cara. Termasuk dengan "memaksa" Peru mengalah 0-6 di babak kedua yang membuat Brazil gagal lolos ke babak semifinal.

Namun kehadiran El Flaco seperti sedikit mereduksi berbagai tudingan tadi. Karena ditangannya, Tango tumbuh menjadi tim yang solid. Menotti merubah pola permainan Tango menjadi lebih ofensif.

Iklim sepakbola Argentina juga menjadi lebih profesional saat dia berkuasa. Kebangaan mengenakan kostum Tango dia tanamkan betul di dada para punggawanya. Faktor nasionalisme ini pula yang membuatnya hanya memilih satu pemain saja dari luar Liga Argentina ke dalam skuadnya. Pemain tersebut adalah Mario Kempes yang ketika itu membela Valencia.

"Melihat cara dia berbicara di depan pemain soal sepakbola merupakan pengalaman yang sangat luar biasa. Dia selalu mengatakan kepada kami bahwa dia menjadi pelatih karena dia sangat percaya pada potensi kami. Dia memberi perhatian khusus pada kelebihan yang dimiliki masing-masing individu. Ini yang membuat kami selalu bangga bermain bersamanya," papar Gabriel Calderon, salah satu anak buah Menotti di Piala Dunia 1978, kepada situs resmi FIFA.

Selain kemampuan membakar nasionalisme para pemainnya, Menotti dikenal memiliki prinsip tegas dalam membangun sebuah tim. Publik Argentina sempat dibuat terkejut dengan keputusan Menotti yang tak memanggil pemain masa depan, Diego Maradona. Keputusan ini yang membuat Maradona sempat ngambek dan memutuskan untuk puasa bicara dengan Menotti.

"Saya punya rencana sendiri soal Maradona. Dia sengaja tak saya masukkan dalam line up karena tenaganya sangat dibutuhkan untuk tampil di Piala Dunia Junior," papar Menotti kepada planetworldcup.

Di mata Menotti, Maradona yang ketika itu usianya masih 18 tahun, dinilai masih labil baik dari segi permainan maupun emosi. Meski sebetulnya Maradona sudah menunjukkan bakat hebatnya di usia remaja.

Keputusan Menotti akhirnya bisa diterima publik setelah Argentina tanpa Maradona, bisa menjadi jawara dunia 1978. Publik semakin mengakui ketajaman intuisi Menotti setelah setahun kemudian, Argentina yang dimotori Maradona, berhasil menjadi kampiun di Piala Dunia Junior 1979. Menotti pun tercatat sebagai pelatih pertama yang sukses menyandingkan Piala Dunia senior dan Junior. Sukses yang menempatkan dirinya dalam jajaran pelatih legendaris dunia.






Dino Zoff, penjaga gawang Italia


Garis perjalanan hidup Dino Zoff tak pernah bisa dipisahkan dengan sepakbola. Setelah gantung sepatu sebagai pemain, dia pun mengabdikan tenaga dan pikirannya sebagai pelatih. Dia sempat menangani Juventus dan sukses mempersembahkan trofi Piala UEFA dan Coppa Italia. Timnas U-23 Italia yang berlaga di Olimpiade 1988 pun menjadi tanggung jawabnya.

Nah, puncak perjalanan karir Zoff akhirnya tertambat juga di skuad senior Italia. Menyusul kegagalan Cesare Maldini ketika menangani Azzurri di Piala Dunia 1998, FIGC (PSSI-nya Italia) menunjuk Zoff sebagai penggantinya. Tugas berat pun menghadang Zoff karena publik Italia menuntut Azzurri bisa merebut trofi juara di Euro 2000.

Zoff sadar betul tugas berat yang dia pikul. Dia berusaha keras membangun Italia sebagai salah satu kekuatan handal di Eropa. Skema pertahanan Catenaccio yang sempat ditinggalkan pada era Arrigo Sacchi dan Cesare Maldini, dibangkitkannya kembali. Di Euro 2000, catenaccio ala Zoff membawa korban tuan rumah Belanda yang harus menyerah lewat adu penalti di semifinal.

Di final, pasukan Zoff bertemu Prancis. Unggul dulu melalui Marco Delvecchio, dalam hitungan detik, Italia sebetulnya sudah akan menjadi juara sekaligus mengakhiri paceklik gelar internasional sejak 1982.

Tapi, pesta harus tertunda lantaran dalam masa injury time, Sylvain Wiltord berhasil menyamakan kedudukan. Dan pesta pun akhirnya buyar lantaran David Trezeguet memastikan kemenangan Prancis lewat golden goal di babak perpanjangan waktu.

Prestasi Italia menembus runner up Euro 2000 sebetulnya sudah cukup lumayan. Tapi Zoff tetap menganggap itu sebagai kegagalan. Dia lalu menyatakan pengunduran diri sebagai pelatih.

Keputusannya diambil beberapa hari setelah partai final. Zoff mengaku mundur ksemata karena tanggung jawab pribadinya pada Azzurri. Namun, publik sudah tahu kalau Zoff mundur karena kecaman keras dari Silvio Berlusconi. Pemilik AC Milan sekaligus Perdana Menteri Italia itu memang paling keras mengecam hasil kerja Zoff selama Euro 2000.

Menurut Berlusconi, Zoff bukanlah seorang profesional dan telah melakukan kesalahan fatal dengan tidak menempatkan seorang pemain khusus mengawal Zinedine Zidane. Berlusconi juga melukiskan strategi yang diambil Zoff sebagai mubazir dan tak ada manfaatnya. Dan dalam kecamannya, Berlusconi menggunakan sebuah kata dalam bahasa Italia, dilettante (seseorang yang tidak profesional dalam bekerja), untuk menggambarkan kerja Zoff.

Zoff jelas tersinggung dengan komentar Berlusconi yang mengecam hasil kerjanya. Padahal, Zoff menganggap dirinya sudah berusaha bekerja sebaik mungkin, dan hanya karena sial, timnya gagal melalui golden goal di final.

"Keputusan saya mengundurkan diri diambil tanpa adanya desakan atau kecaman dari orang lain. Saya tidak merasa didesak atau dipengaruhi oleh Berlusconi," kata Zoff kepada Reuters saat itu.

"Cuma, saya memang sama sekali tidak mengerti mengapa ada orang yang ingin merusak atau mencampuri kerja orang lain. Saya akan menjawab semua kecaman Berlusconi secara pribadi," lanjutnya.

Seperti halnya para legenda lapangan hijau lain, peran keluarga juga menjadi pengawal langkah karir Dinoz Zoff. Bahkan, seandainya tak ada nenek baik hati yang bernama Adelaide, Zoff mungkin sudah akan melupakan impiannya menjadi pemain profesional dan Italia tak akan punya legenda di bawah mistar.

Apa sebetulnya yang dilakukan sang nenek? Ceritanya, saat masih remaja, Zoff yang sejak kecil memang hanya ingin jadi kiper, mencoba melamar ke dua klub besar Italia, Inter Milan dan Juventus. Zoff cukup percaya diri kala itu karena merasa sudah cukup berlatih dan punya bakat.

Tapi di luar dugaan Zoff, kedua klub tadi menolaknya. Sebab dia dianggap tak memiliki modal lain yang justru sangat vital bagi seorang kiper. Apa? Postur dan tinggi badan. Zoff terlalu pendek untuk ukuran seorang kiper.

Zoff frustasi berat mendengar jawaban kedua klub tadi. Nah, Adelaide yang melihat cucunya gundah, memberikan motivasi dan semangat agar tak cepat menyerah. Adelaide pun memberikan masukan, bahwa di usia Zoff yang ketika itu baru 14 tahun, masih ada harapan untuk tumbuh lebih tinggi. Adelaide terus memberikan menu makanan yang merangsang pertumbuhan tinggi badan. Salah satunya adalah telur.

Kerja keras Zoff untuk memacu pertumbuhan tinggi badannya membuahkan hasil yang sangat signifikan. Lima tahun setelah ditolak Inter dan Juve, tingginya bertambah 33 cm. Di usianya yang menginjak 19 tahun, Zoff memiliki postur setinggi 182 Cm.

Modal yang cukup ideal untuk menjadi seorang kiper. Tawaran dari Udinese pun langsung diterima karena dia sudah tak sabar untuk bermain di pentas Seri A. Demi Udinese, Zoff pun tak merasa sayang melepas pekerjaan sebagai mekanik motor. Sayang, debutnya bersama Udinese kurang memuaskan. Saat menghadapi Fiorentina pada September 1961, gawang Udinese yang dikawal Zoff harus kebobolan lima gol.

Debut mengecewakan itu membuat Zoff jarang mendapat kepercayaan dari pelatih. Selama dua musim di Udinese, dia hanya diturunkan sebanyak 4 kali. Minimnya kesempatan tampil itulah, yang memaksa Zoff untuk hijrah ke Mantova. Karier Zoff langsung melejit bersama Mantova.

Dia pun sempat dipertimbangkan masuk dalam skuad Italia di Piala Dunia 1966 bersaing dengan tiga kiper hebat saat itu, Enrico Albertosi, Roberto Anzolin, dan Pizzaballa. Tapi akhirnya, nama Zoff harus dicoret arsitek Edmondo Fabbri mengingat tiga kiper diatas sudah memiliki pengalaman tampil di pentas internasional.

"Dia tak ingin dituduh terlalu favorit pada salah satu kiper karena dia sendiri orang Mantova," kata Zoff kepada situs resmi FIFA merujuk kegagalannya masuk skuad Azzurri di Piala Dunia 1966.

Tapi Zoff tak menyerah karena pencoretan ini. Dia semakin bersemangat setelah istrinya, Anna Maria, melahirkan anak keduanya pada 1967. Dan setahun setelah anak keduanya lahir, Zoff menerima tawaran bergabung dari Napoli. Di Napoli inilah, penampilan Zoff semakin matang dan akhirnya bisa membuat debut internasional bersama Azzurri di tahun yang sama.







Roger Milla, Si Tua Keladi dari Kamerun


Roger Milla, pada usia 38 tahun saat tampil di awal Piala Dunia 1990, sama sekali tidak diperhitungkan.

Ia tidak lebih dari seorang pemain biasa dalam tim Kamerun yang untuk kedua kalinya tampil di putaran final pesta sepakbola sejagat itu.

Tapi dalam lima pertandingan, ia mampu menyumbang empat gol, diselingi dengan goyang samba usai mencetak gol, yang membuat penyerang veteran itu muncul dalam daftar "hall of fame" Piala Dunia. Ia bahkan disebut-sebut sebagai pemain Afrika terbaik sepanjang masa.

Penampilan Milla untuk tim berjuluk Singa Perkasa di Piala Dunia 1990 Italia merupakan salah satu cerita menarik selama turnamen sebulan penuh itu ketika ia berhasil mengantar Kamerun babak perempat-final sebelum dihentikan Inggris.

Meski lebih sering tampil sebagai pemain pengganti, Milla justru menjadi tokoh sentral bagi tim asal Afrika Barat itu, ketika mencetak dua gol ke gawang Rumania, serta satu gol bersejarah saat mengalahkan Kolombia di putaran kedua.

Ciri khas Milla usai mencetak gol adalah, berlari sudut lapangan dan menggoyang-goyangkan pinggul sambil berpegang pada tiang bendera.

Lahir di Yaounde pada 1952, Milla mengawali karirnya di ibukota Kamerun itu bersama klub Eclair Douala, Leopards dan Tonnerre. Bersama klub tersebut, Milla berhasil meraih gelar juara kompetisi domestik yang mengantarnya sebagai Pemain Afrika Terbaik pada 1976.

Tidak puas hanya berkutat di liga dalam negeri, Milla pun mencoba peruntungan di Perancis. Ia pun kemudian mengganti nama asli dari Miller menjadi Milla agar terasa lebih bernuansa Afrika.

Bermain di Perancis ternyata memberi banyak kesuksesan sehingga ia pun mampu bertahan selama 14 tahun di negeri itu.

Setelah dua tahun membela Valenciennes, ia pun pindah ke Monaco dan ikut berjasa mengantar klub itu tampil sebagai juara Perancis pada 1980.

Tahun berikutnya, Milla juga berhasil meraih gelar juara, tapi kali ini bersama klub Bastia.

Pada 1982, Mila untuk pertama kali tampil di Piala Dunia, dari total tiga kali penampilannya. Cita-citanya baru terwujud selama sepuluh tahun membela tim nasional Kamerun, mulai sejak 1972.

Di Piala Dunia 1982 di Spanyol, langsung tersingkir di babak pertama gara-gara hanya kalah selisih gol dengan Italia yang akhirnya tampil sebagai juara.

Pada 1984, ia menjadi inspirasi tim saat Kamerun menjuarai Piala Afrika dan sukses itu kembali ia ulangi pada 1988.

Akhir 1980-an, keberadaan Milla secara berangsur-angsur mulai memudar dan kemudian hampir dilupakan. Statusnya pun seperti semi pensiun ketika bergabung dengan klub kecil St Pierre.

Milla seperti bangun dari tidur ketika ia dipanggil untuk memperkuat Kamerun di Piala Dunia 1990. Penampilannya yang mengesankandi Italia membuatnya untuk kedua kali terpilih sebagai Pemain Terbaik Afrika.

Menjelang Piala Dunia 1994 di AS, Milla sempat berkelana dan bergabung dengan klub Indonesia Pelita Jaya, dimana Milla menyumbang 23 gol dari 23 kali pertandingan untuk mengantar klub itu ke tangga juara Liga Indonesia.

Milla kembali dipanggil untuk memperkuat Kamerun di Piala Dunia 1994. Namun di negara Paman Sam itu, tidak ada ulangan keajaiban seperti di Italia.

Namun setidaknya, Milla menoreh prestasi tersendiri karena satu-satunya gol balasan saat Kamerun ditenggelamkan Rusia 1-6, membuat dia tercatat sebagai pemain tertua di Piala Dunia yang mampu mencetak gol, yaitu 42 tahun satu bulan dan delapan hari.
(Sumber : planetworldcup.)









Eusebio, Bintang Afrika yang Mengukir Sejarah Portugal


Benua afrika tidak kalah dari Amerika selatan dalam melahirkan bintang-bintang sepakbola. Banyak pemain dari Negara-negara benua hitam ini yang juga menjadi tulang punggung klub-klub raksasa Eropa, sebut saja Didier Drogba, yang jadi striker utama The Blues Chelsea, atau Eto'o, pemain Barcelona yang saat ini memimpin daftar pencetak gol liga Spanyol, dan banyak pemain-pemain lainnya. Afrika menjadi salah satu ladang pekerjaan bagi para pencari bakat klub Eropa.

Adalah Eusebio, yang menjadi pemain pertama asal Afrika yang bermain di Eropa, yaitu Portugal. "Black Panther" julukan Eusebio bermain pertama kali saat usianya masih sangat muda untuk klub lokal, Sporting Club Lourenaso Marquesulai. Di klub ini dia sudah menunjukan telentanya sebagai calon pemain hebat Hingga akhirnya menjadi rebuatan dua klub Lisbon, Sporting Lisbon dan Benfica, dan membuat perseteruan dua klub ini menjadi semakin panas sampai keluar lapangan.

Pada usia yang tergolong muda yaitu 18 tahun, pemain kelahiran Lourenaso Marques, Mozambique ini akhirnya memutuskan untuk merumput bersama Benfica, tahun 1960. Konon, gol pertamanya di Benfica dicetaknya satu tahun kemudian pada sebuah partai persahabatan di Paris melawan klub Brazil, Santos, yang pada waktu itu juga diperkuat oleh salah satu calon bintang dunia, Pele.

Eusebio adalah striker kuat, kecepatan dan akselerasi serta kemampuannya mengolah bola membuat dia dikenal sebagai pemain licin bagaikan kucing. Hanya dalam waktu dua tahun setelah bergabung dengan Benfica, "The Black Panther" memimpin klub ini untuk menjadi yang terhebat di Eropa dengan menjuarai Piala Champion Eropa, tahun 1962 mengalahkan bintang Real Madrid, Alfredo Di Stefano.

Setelah itu, pemain yang telah mencetak 317 gol dalam 301 partai selama karirnya di liga Portugal bersama Benfica, menjadi warga negara Portugal dan untuk pertama kalinya masuk dalam squad Portugal melawan Luxembourg di kualifikasi Piala Dunia Inggris 1966. Di putaran pertama Piala dunia, Portugal mengalahkan Hungaria 3-1 dan Bulgaria 3-0.

Keperkasan Portugal dan Eusebio berlanjut di kompetisi sepak bola terbesar ini dengan mengalahkan Brazil 3-1. Di perempat final, bintang Afrika Portugal memimpin timnya mengalahkan wakil Asia, Korea Utara dengan kemenangan mutlak 3-0, dan menempatkan Portugal di semi final untuk berhadapan dengan tuan rumah Inggris.

Langkah Portugal di hentikan Inggris, yang akhirnya menjadi juara dunia, di semi final dengan kekalahan tipis 1-2. Tapi dengan sembilan gol yang sudah dicetak Eusebio dan menjadi pencetak gol terbanyak dalam enam pertandingan membawa Portugal menempati juara ketiga Piala Dunia. Dan menjadi prestasi tertinggi sepak bola Portugal hingga sekarang. Piala Dunia 1966 merupakan prestasi terbesar dalam karir saya, kita memang tersingkir di semi final, tapi sepak bola Portugal telah mendapatkan kemenangan besar katanya saat itu.

Sebagai bukti kesetiaannya, pemain yang lahir tanggal 25 Januari 1942 ini membawa Benfica dalam masa sukses selama empat belas tahun dengan mempersembahkan 11 gelar juara liga Portugal dan 5 kali juala Piala Portugal, sebelum akhirnya merumput di Amerika bersama klub Boston Minutemen tahun 1974-1975 dan tahun 1976 bersama Toronto Metros di Canada. Cedera lutut membuat penampilannya semakin menurun hingga akhirnya memutuskan untuk kembali ke Portugal untuk membela klub Beira Mar.

Nama pemain yang mencetak 41 gol dalam 64 pertandingannya bersama timnas Portugal ini telah tercatat dalam sejarah Piala Dunia dan termasuk dalam deretan bintang-bintang lapangan hijau dunia.









Kurniawan, Legenda Hidup Sepakbola Indonesia


Ribuan pemain pernah dan masih hilir mudik di pentas sepak bola Indonesia. Entah itu di era Perserikatan, Galatama, atau kini di kancah Liga Indonesia. Tapi, hanya sedikit yang berkategori bintang. Kurniawan Dwi Yulianto termasuk di dalamnya. 'Si Kurus' adalah legenda hidup sepakbola Indonesia.

Kurniawan tidak seperti Ramang yang lahir dari Makassar, daerah yang notabene punya tradisi kuat sepak bola. Dia bukan pula Syamsul Arifin yang tumbuh di Surabaya, sebuah kota yang merupakan produsen utama pemain andal sepak bola Indonesia.

Dia juga tidak berjalan layaknya Ajat Sudrajat yang berkembang di Bandung. Sebuah nama yang memiliki ikon sepak bola Jawa Barat bernama Persib Bandung. Dia tidak pula seperti Ricky Yakobi yang besar di Medan. Kawasan yang masyarakatnya akrab dan gila dengan si kulit bundar.

Ya, Kurniawan hanyalah lahir dari sebuah daerah di seberang Jogjakarta bernama Magelang. Sudah barang tentu, Magelang tidaklah sama seperti Makassar, Surabaya, Bandung, dan Medan. Magelang bukanlah poros utama sejarah sepak bola tanah air seperti yang disandang empat kota tersebut. Meski demikian, striker yang akrab disapa Kurus itu tidak kalah jika dibandingkan mereka. Kurus punya talenta dan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan bintang-bintang asal kota itu.

Nama Kurniawan bahkan begitu tersohor di jagat sepak bola Asia pada pertengahan 90-an. Sebab, kala itu, pemain yang lahir 13 Juli 1976 tersebut berhasil mencatatkan diri sebagai salah seorang di antara sedikit pemain Asia yang bermain di Eropa. Kurniawan pernah berbaju Samdoria junior. Putra pasangan Budi Rijanto-Nooraini tersebut juga pernah berkiprah di Liga Swiss bersama FC Luzern pada musim 1995/1996.

Untuk urusan di Tim Nasional (Timnas) Indonesia, catatan Kurniawan tak kalah apik. Dia selalu menjadi langganan utama sejak 1993 hingga 2004 dengan menyandang kostum nomor 10. Dari data yang dilansir ensiklopedia maya Wikipedia Indonesia, Kurniawan bahkan tercatat sebagai pemain dengan caps terbanyak di Timnas Indonesia. Kurniawan telah tampil 60 kali. Kurus juga dibukukan sebagai penyumbang gol terbanyak dengan donasi 33 gol.

Memang tak ada gading yang tak retak. Begitu pula Kurniawan. Pemain yang menekuni sepak bola dari Sekolah Sepak Bola (SSB) Wajar Magelang itu pernah terjerat kasus narkoba pada 1997. Sejak itu pula, Kurniawan diidentifikasi sebagai pemain indisipliner, ugal-ugalan, dan akrab dengan dunia malam. Karirnya merosot. Rumah tangga yang dibinanya bersama Kartika Dewi berantakan alias cerai.

"Saat itu, saya masih muda. Saat ini, saya merasa sudah lebih matang dan masa inilah yang membuat saya berhenti. Memang, penyesalan pasti ada di belakang. Kini, konsentrasi saya adalah bagaimana mengakhiri karir di sepak bola dengan torehan yang positif," ujar Kurniawan.

"Hal yang paling terasa saat memutuskan berhenti adalah saya menyadari bahwa sepak bola adalah urat nadi hidup saya. Sepak bola merupakan hal yang berharga. Apalagi, banyak hal yang saya korbankan demi meniti karir di sepak bola, baik itu sekolah, keluarga, masa indah bersama teman-teman di Magelang," imbuhnya.

Dengan kesadaran tersebut, kini Kurniawan mencoba belajar lagi. Kurus kembali mencoba menikmati sepak bola sebagai kegemarannya yang mendatangkan tawa ceria dan bahagia. Kegemaran yang tentunya seperti yang dirasakan kala Kurus bergelut dengan si kulit bundar di tanah kelahirannya, Magelang. Kegemaran layaknya di Diklat Salatiga sebelum dia bergabung PSSI Primavera pada 1993.

Kurniawan sadar, rasa sesal dan keputusannya untuk sembuh dari jerat narkoba tidak bakal membawanya menyandang seragam Sampdoria kembali. Seragam yang nyaris membawanya bermain di Seria A kala Sampdoria dilatih Sven Goran Eriksson musim 1996.

Tapi, rasa sesal itu perlahan mulai menghadirkan prestasi lagi ke dalam dekapan Kurniawan. Ya, Kurniawan sudah merasakan nikmat gelar juara Liga Indonesia dua kali. Yang pertama, dia raih bersama PSM Makassar musim 2000, kemudian bareng Persebaya Surabaya pada 2004.

Di musim kompetisi 2007, bersama Persitara Jakarta Utara, ayah Tazkia Aulia dan Anissa Azzahra itu pun telah menunjukkan tajinya. Kecerdikan dalam menipu lawan, sentuhan, dan kecepatannya dalam bermain bola kembali terlihat menawan. Urusan merobek jala lawan, Kurniawan juga kembali trengginas.

Koleksi golnya musim ini memang jauh dibelakang bomber Persik Kediri Christian Gonzalez. Tapi, dibandingkan dengan striker-striker yang kini menjadi langganan tim nasional, Kurniawan tidak kalah bersaing. Hingga akhir babak reguler Liga Indonesia, pemain bertinggi 173 centimeter itu telah menyumbang 12 gol bagi Persitara.

Donasi golnya hanya selisih satu gol dengan koleksi Boaz Salossa. Atau, terpaut empat gol milik Bambang Pamungkas (16 gol) serta selisih tiga gol dari Aliyudin. Namun, koleksi Kurniawan tersebut mampu melewati perolehan striker-striker lokal lainnya. Misalnya, Saktiawan Sinaga, Rudi Widodo, Budi Sudarsono, dan Rahmat Rivai.

"Saya sudah susah payah meniti karir di sepak bola. Karena itu, mengapa saya harus membuangnya percuma. Saya ingin sampai mati di sepak bola. Sepak bola juga telah menjadikan saya berguna bagi bangsa dan saya ingin kembali seperti itu," tegas Kurniawan.

Ekspektasi Kurniawan memang cukup rasional. Bukan hanya karena dia kembali tajam sebagai striker, tapi usia Kurniawan yang baru 31 tahun masih cukup membuatnya untuk berkiprah di tim nasional.

Langkah awal telah dicatat Kurniawan. Saat Indonesia beruji coba dengan Borussia Dortmund (19/12) lalu, Kurniawan kembali berseragam Merah Putih. Lebih dari itu, musim ini Kurniawan juga berperan besar meloloskan Persitara ke Superliga 2008. Kurniawan-lah penyumbang gol terbanyak bagi tim yang terpinggirkan oleh kebesaran Persija Jakarta tersebut. Kurus juga merupakan kapten Persitara.

"Tapi, saya juga tetap tahu diri. Kalau saya memang sudah tidak pantas bermain dan menjadi pemain profesional, saya akan gantung sepatu. Yang jelas, untuk saat ini, saya masih merasa mampu dan belum punya niat untuk gantung sepatu," terangnya.










Matador Argentina (Mario Kempes)


Nama Mario Kempes mungkin sudah tidak asing lagi bagi penggemar bola di tanah air. Tahun 1996 yang lalu dia menjadi salah satu bagian dari persepakbolaan nasional saat menjadi pelatih Pelita Jaya di liga Indonesia.

Tidak dipungkiri lagi, Kempes merupakan salah satu dari sekian banyak legenda sepakbola dunia yang telah mencatatkan sejarahnya sendiri. Bagi negaranya, Argentina, kempas adalah pahlawan sepakbola negara tersebut selain Maradona.

Pemain kelahiran Cordoba, Argentina 15 Juli 1954 ini memulai karir sepakbolanya di klub Instituto de Cordoba. Debutnya di Divisi satu pada 5 Oktober 1973 melawan Newell's Old Boys dengan kekalahan klubnya 0-1.

El Matador, julukan Kempas, pertama kali mengenakan kaos timnas Argentina pada 19 April 1972 dalam pertandingan U-18 melawan Portugal di Cannes. Saat itu dia nencetak satu gol dari kemenangan tango 3-1.

Saat usianya 19 tahun, dia menjadi bagian dari tim Argentina dalam babak kualifikasi Piala Dunia jerman 1974. di jerman, Kempes tidak bisa berbuat apa-apa, setelah disingkirkan Belanda dengan Johann Cruyff-nya di babak pertama.

Setelah mencetak 100 gol bersama klub Rosario Central dalam 2 musim. Tahun 1976, Kempes pindah ke Spanyol dan menjadi salah satu bintang pujaan pendukung Valencia. Selama 5 tahun bermain, torehan rekornya cukup mengesankan.

Dia membawa Valencia 2 kali juara Spanish Cup (1978 dan 1979), 2 kali juara Piala Winner (1979 dan 1980), dan Piala Super Eropa tahun 1980. selain itu dia 2 kali menempati urutan pertama daftar top score liga Spanyol musim 1976/1977 dengan 24 gol, dan 28 gol pada musim 1977/1978.

“Dia sangat kuat, skill yang bagus, dia selalu menciptakan ruang dan mempunyai tendangan yang cukup keras. Dia sangat berbeda, dan dia bisa bermain sebagai penyerang tengah�, begitulah gambaran yang diberikan oleh Cesar Luis Menotti, pelatih Argentina, saat memanggilnya masuk squad Piala Dunia 1978.

1978, Argentina yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Diktator menjadi penyelenggara Piala Dunia dan Kempas menjadi salah satu harapan publik tuan rumah untuk menjadi pahlawan. Di babak penyisihan Argentina meraih kemenanagan atas Hungaria dan Perancis, cukup untuk mengamankan tiket ke babak selanjutnya, meskipun menelan kekalahan sekali dari Italia.

Sebelum sampai di partai puncak, tuan rumah mengalahkan Polandia, bermain imbang melawan Brazil dan mengalahkan Peru. 25 Juni 1978 adalah hari yang sangat bersejarah bagi Kempes, sepakbola Argentina dan seluruh pendukungnya.

Untuk pertama kalinya Argentina meraih gelar Piala Dunia. Tuan rumah berhasil meraih 2 kesuksesan, sebagai penyelenggara dan juara dunia dengan mengalahkan Belanda 3-1.

Di partai tersebut pemain bernomor punggung 10 ini mencetak 2 gol. Yang pertama di menit 38 babak pertama dan yang kedua di cetak dengan gaya khas permainannya, pada menit 15 perpanjangan waktu.

Kemenangan ini telah membawa kegembiraan tak ternilai bagi rakyat Argentina yang mengalami keterpurukan akibat kekejaman diktator militer yang berkuasa.

Keiukutsertaannya yang ketiga di Piala Dunia, Spanyol 1982. Kempes tidak bisa mengulang sejarah kejayaan sepakbola negaranya. Argentina tersingkir sebelum pemain yang tidak pernah terkena kartu kuning maupun kartu merah sepanjang karir internasionalnya, mencetak gol pertama.

Tahun berikutnya El Matador menyerahkan kaos tim tango bernomor 10 kepada Diego Maradona, orang yang dia sebut sebagai pemain terbesar negaranya.


Perjalanan karir:
Klub

*1971-1973: Instituto de Cardoba (Argentina)
*1974-1976: Rosario Central (Argentina)
*1976-1981: Valencia (Spanyol)
*1981-1982: River Plate (Argentina)
*1982-1984: Valencia (Spanyol)
*1984-1986: Harcules de Alicante (Spain)
*1986-1987: First Vienna (Austria)
*1987-1990: Saint Poltern (Austria)
*1990-1992: Kremser (Austria)
*1995: Fernández Vial (Chile)
*1996: Pelita Jaya (Indonesia

Prestasi klub

*1978 : Juara Spanish Cup
*1979 : Juara Spanish Cup
*1979 : Juara Piala Winner Eropa
*1980 : Juara Piala Winner Eropa
*1981 : Juara Liga Argentina

Prestasi Internasional

*43 kali penampilan, 20 gol
*18 partai dalam 3 kali Piala Dunia
*Juara Piala Dunia Argentina 1978
*Top Score Piala Dunia 1978
*Pemain terbaik Piala Dunia 1978

Karir pelatih

*1993: Valencia (assisten)
*1996: Pelita Jaya (Indonesia)
*1996: SK Lushnja (Albania)
*1997-1998: Mineros de Guayana (Venezuela)
*1999: The Strongest (Bolivia)
*2000-2001: Independiente Petrolero (Bolivia)







Eric “ The King” Cantona, Terbaik yang Abadi


Eric “The King” Cantona terpilih sebagai pemain paling top dalam sejarah liga Inggris, ini berdasarkan hasil survey yang diadakan global survey of football fans.

Survei yang diklaim terbesar di Inggris itu melibatkan lebih dari 26 ribu fans dari 170 negara di dunia. Dari jumlah tersebut Cantona meraih 17 persen suara dalam kategori pemain paling tenar dalam sejarah Premiership.

Hanya kurang dari empat tahun setelah ia hengkang dari Old Trafford, Cantona yang disebut Sir Alex Ferguson sebagai "katalisator untuk menjadi juara" itu, masih saja terpilih sebagai urutan teratas 100 pemain terbaik. Tidak kurang dari mantan pemain legendaris Denis Law, menyebut Cantona berjasa sangat besar membawa MU menjadi juara Liga Utama tahun 1993, atau yang pertama selama 26 tahun.

"Ia merupakan gambar terpenting yang hilang dari jigsaw puzzle (mainan dari gambar yang terpotong-potong yang harus disusun kembali), yang dicari-cari Alex. Ketika ia datang, semua potongan gambar ada di tempat masing-masing, dan dia-lah yang memulai sukses yang terus berlangsung sampai hari ini," kata Law.

Cantona meninggalkan MU pada tahun 1997 dengan membawa tiga medali juara liga. Tidak ada yang berani membantah kenyataan bahwa Cantona-lah yang memicu sebuah revolusi, yang mengubah MU menjadi klub paling sukses di dunia.

Mantan pemain nasional Perancis itu memiliki teknis bermain yang paling lengkap di dunia. Sentuhan-sentuhan bolanya, juga kemampuannya menyelesaikan serangan, membuatnya menjadi pemain yang sangat klinis.

Ferguson mengakui ia banyak belajar dari Cantona. "Ia merupakan pemain profesional panutan, dan menjadi teladan bagi semua pemain" kata Ferguson.

Oleh sebab itu, sungguh sayang sekali tatkala manajemen MU menolak usulan Ferguson agar Cantona ditunjuk sebagai penggantinya dalam dua tahun mendatang. Bagi Ferguson, Cantona mempunyai karakter dan kharisma untuk melatih MU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar